JATIMTIMES- Pengasuh Ponpes Sabilurrosyad sekaligus Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur (Jatim) KH Marzuki Mustamar sempat melontarkan pernyataan bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merupakan calon presiden (capres) 2024. Pernyataan itu disampaikan ketika Anies berkunjung ke Ponpes Sabilurrosyad di Gasek,
KH Ahmad Marzuki bin Mirsod bin Hasnum bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sultan Ahmad al-Fathani dengan gelar Laqsana Malayang alias Guru Marzuki 1877-1934 M merupakan salah satu dari mahaguru ulama Betawi yang memiliki peran penting dalam penyebaran dakwah Islam di tanah Betawi. Kemahaguruan ini ditinjau pada aspek penyebutan Guru’ yang mana secara status keulamaan Betawi Guru’ merupakan level tertinggi setelah Mu’allim’ dan Ustadz’. Seorang Guru’ dalam buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21 2011, adalah penamaan ulama yang setara dengan Syaikhul Masyayikh, ia dianggap representatif dalam mengeluarkan fatwa agama dalam spesialisasi bidang keilmuan yang dikuasai. Setidaknya terdapat enam guru dari para ulama Betawi dari akhir pada abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20 yang disebut oleh Abdul Aziz dalam Islam dan Masyarakat Betawi 2002 sebagai enam pendekar atau the six teacher, yaitu Guru Mansur Jembatan Lima, Guru Marzuki Cipinang Muara, Guru Mughni Kuningan, Guru Madjid Pekojan, Guru Khalid Gondangdia, dan Guru Mahmud Ramli Menteng. Secara biologis, Guru Marzuki mempunyai keturunan yang berasal dari bangsawan Melayu Pattani, sebagaimana nasab melalui ayahnya sampai kepada Sultan Laqsana Malayang, salah seorang sultan Melayu di Negeri Pattani Thailand Selatan. Sedangkan ibunya, Hajjah Fatimah binti Syihabuddin bin Magrabi al-Maduri berasal dari pulau Madura dan keturunan Maulana Ishaq, Gresik Jawa Timur. Penelitian Agus Iswanto 2016 menyebutkan bahwa pada umur 16 tahun, Guru Marzuki diserahkan kepada ulama keturunan Arab bernama Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Tidak lama setelah itu di tahun 1907/08 beliau pergi ke Mekkah untuk menuntut ilmu, dan kembali ke Jakarta pada 1913/14 M. Di antara guru-guru beliau ketika di Makkah antara lain adalah Syekh Usman al-Sarawaqi, Syekh Muhammad Ali al-Maliki, Syekh Muhammad Amin, Sayyid Ahmad Ridwan, Syekh Hasbullah al-Misri, Syekh Mahfuz al-Termasi, Syekh Salih Bafadhal, Syekh Abdul Karim, Syekh Muhammad Sa’id al-Yamani, Syekh Umar bin Abu Bakar Bajunayd, Syekh Mukhtar bin Atarid, Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh al-Sayyid Muhammad Yasin al-Basyumi, Syekh Marzuki al-Bantani, Syekh Umar Sumbawa, Syekh Umar Syatha, dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Guru Marzuki juga memperoleh ijazah tasawuf yakni tarekat Alawiyyah dari Syekh Umar Syatha, yang diambil dari jalur silsilah Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Selain tarekat Alawiyyah, beliau juga mendapat ijazah tarekat Khalwatiyah dari Syekh Usman bin Hasan al-Dimyati. Setelah sampainya di Jakarta, beliau memulai jalan dakwah atas bimbingan gurunya Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Sayyid Umar meminta Guru Marzuki untuk menggantikannya mengajar di Masjid Jami’ al-Anwar Rawa Bangke Rawa Bunga Jatinegara. Kemudian di tahun 1921/22 M beliau memutuskan untuk pindah dari Rawa Bangke karena kondisi lingkungan daerah tersebut semakin hari kian memburuk secara moralitas, sehingga sangat tidak kondusif dijadikan tempat belajar para santri. Beliau pun pindah ke kampung Muara untuk membangun tempat belajar para santri dan Masjid al-Marzuqiyah. Dari sinilah basis Guru Marzuki mengajar dan menulis kitab. Banyak murid-murid berdatangan dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Menurut Iswanto, Guru Marzuki memiliki banyak murid yang menjadi ulama terkenal, terutama di lingkungan masyarakat Betawi. Setidaknya ada 70 murid yang pernah belajar kepada Guru Marzuki yang kemudian menjadi ulama, sehingga tidak heran bila beliau dijuluki sebagai “guru ulama Betawi”. Murid-muridnya antara lain KH Noer Ali Bekasi, 1913-1992, KH Muhammad Tambih Kranji Bekasi, 1907-1977, KH Abdullah Syafi’i Bali Matraman, 1910-1985, KH Tohir Rohili Bukit Duri, 1920-1999, KH Hasbiallah Klender, 1913-1982, dan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Di samping sebagai pendakwah, Guru Marzuki juga peduli terhadap gerakan kebangsaan. Sebagaimana pada masanya, KH Hasyim Asy’ari saat itu mendirikan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keislaman Indonesia berlandaskan Ahlussunnah wal Jamaah, maka Guru Marzuki mengambil kontribusi dalam menegakkan NU yang masih usia dini tersebut di tanah Betawi. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa Guru Marzuki adalah tokoh kiai Betawi generasi pertama yang mendukung berdirinya Nahdlatul Ulama di Batavia pada tahun 1928. Tidak hanya itu, beliau juga bertindak sebagai Rais Syuriahnya sampai wafat. Hubungan Guru Marzuki dengan NU pun semakin erat ketika cucunya KH Umairah Baqir menikah dengan adik kandung KH Idham Chalid. Penulis Ahmad Rifaldi Editor Fathoni Ahmad
ZIARAHKE MAKAM GURU MARZUKI BIN MIRSHOD GURU MUHAMMAD THOHIR BIN JA'MAN WA USHULUHIM WA FURU IHIM =====/===== KAMIS, 20 MEI 2021 ZIARAH KE MAKAM GURU MARZUKI BIN MIRSHOD GURU MUHAMMAD THOHIR BIN JA'MAN WA USHULUHIM WA FURU IHIM =====/===== KAMIS, 20 MEI 2021. Jump to. Sections of this page. Accessibility Help. .Syekh Ahmad Marzuki Mirshod. Syekh Ahmad Marzuki merupakan salah satu mahaguru ulama Nusantara yang mempunyai peranan penting dalam dakwah Islam di tanah Betawi Jakarta. Beliau mendapat gelar Guru Marzuki. Syekh Ahmad Marzuki lahir dari pasangan Syekh Ahmad Mirshod dan Hajjah Fathimah binti Haji Syihabuddin Maghrobi Al-Maduri. Ibunya masih memiliki garis keturunan dari Maulana Ishaq Gresik Jawa Timur. Dari jalur ayah, beliau memiliki silisah nasab yang berasal dari bangsawan Melayu Pattani. Nama lengkapnya adalah KH KH Ahmad Marzuki bin Mirsod bin Hasnum bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sultan Ahmad al-Fathani. Ahmad Marzuki lahir pada malam Ahad 16 Ramadhan 1293 H 1876 M di Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Jakarta Timur. Ayahnya wafat saat dia berusia 9 tahun. Dia belajar agama kepada Habib Utsman bin Muhammad Banahsan pada usia 16 tahun. Sebelumnya, dia belajar al-Quran kepada Haji Anwar. Penimbaan ilmunya dilanjutkan ke Makkah. Guru-guru Syekh Ahmad Marzuki di Tanah Haram antara lain Syayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Makkah dan Syaikh Muhammad Umar Syatho. Kepulangan ke bumi Nusantara berawal dari sepucuk surat yang diterima Ahmad Marzuki dari Sayyid Utsman. Syekh Ahmad Marzuki merintis dakwah dan mengajar di Kampung Muara. Banyak penduduk setempat memeluk agama Islam dan tidak sedikit santri dari pelbagai daerah berdatangan menimba ilmu kepada beliau. Guru Marzuki mengarang sejumlah kitab dalam bahasa Arab seperti Sabilut Taqlid, Tuhfatur Rahman fi Bayan Akhlaq Bani Akhir Zaman, Sirajul Mubtadi dll. Laqsana Malayang Guru Marzuki juga memiliki kepedulian besar kepada gerakan kebangsaan. Beliau turut berkontribusi dalam mengembangkan Nahdlatul Ulama di tanah Betawi. Syekh Ahmad Marzuki wafat pada Jumat pagi tanggal 25 Rajab 1352 H 1934 M. Shalat Jenazah diimami oleh Habib Ali bin Abdurrohman al-Habsyi Habib Ali Kwitang. Jenazahnya dimakamkan sesudah shalat Ashar. Infografis oleh Ahmad Hudaepi. Jumat 03 Januari 2020. Januari 03, 2020. KomentarAs – Syaikh Ahmad Marzuki bin Mirsod Guru Marzuki Jakarta Minggu, 24 Februari 2019 , NU Toline Masyarakat Betawi biasa menyebutnya dengan Guru Marzuki, yang membedakannya dengan sebutan muallim’ dan ustaz’, meskipun sekarang dalam beberapa tulisan terkadang disebut dengan Kiai Marzuki. Guru’ adalah level tertinggi dalam derajat keulamaan di kalangan masyarakat Betawi atau Jakarta tempo dulu. Ia adalah seorang ulama Jakarta atau Betawi dari akhir abad ke-19 dan awal ke-20. Orang biasanya menyebutnya Guru Marzuqi Cipinang Muara walau di kitab-kitab yang dikarangnya ia menulis namanya dalam bahasa Arab Melayu tidak ada kata Cipinang, yaitu Guru Marzuqi Muara. Ada yang menulisnya dengan Marzuki, bukan Marzuqi. Saya terakhir kali berkunjung ke makamnya yang berada di Kompleks Masjid Jami Al-Marzuqiyah Cipinang Muara Senin, 1/12/2014, tertulis di poster silsilah namanya dengan tulisan Marzuki. Nama Lengkap Guru Marzuqi adalah As-syekh Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Sa’ad bin Abdurrohman bin Sulthon yang diberikan gelar dengan “Laksmana Malayang” dari salah seorang sultan tanah melayu yang berasal dari negeri Pattani, Thailand Selatan. Ibunya bernama Hajjah Fathimah binti Al-Haj Syihabuddin Maghrobi Al-Madura, berasal dari Madura dari keturunan Ishaq yang makamnya di kota Gresik Jawa Timur. Al-Marhum Haji Syihabuddin adalah salah seorang khotib di masjidf Al-Jami’ul Anwar Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Jakarta Timur. As-Syekh Ahmad Marzuqi dilahirkan pada malam Ahad waktu Isya tanggal 16 Romadhon 1293 H di Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Batavia Jakarta Timur. Usia 9 tahun ayahanda Al-Marhum berpulang ke Rohmatulloh dan diasuh oleh ibunda tercinta yang sholehah dan taqwa dalam suatu kehidupan rumah tangga yang sangat sederhana. Usia 12 tahun beliau diserahkan kepada sorang alim al-ustadz al-hajj Anwar Rohimahulloh untuk mendapat pendidikan dan pengajaran Al-qur’an dan berbagai disiplin ilmu agama Islam lainnya untuk bekal kehidupannya dimasa yang akan datang. Selanjutnya setelah berusia 16 tahun, untuk memperluas ilmu agamanya, maka ibundanya menyerahkan lagi kepada seorang alaim ulama al-allamah al-wali al-arifbillah dari silsilah dzurriyah khoyrul bariyyah SAW Sayyid “Utsman bin Muhammad Banahsan Rohimahullohu ta’ala. Melihat kejeniusan dan kekuatan hafalan dari Marzuki muda, pada usianya keenam belas tahun, Saayyid Utsman mengirimnya ke Makkah untuk belajar ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits hingga mantiq. Kesempatan menuntut ilmu tersebut benar-benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga, dalam waktu hanya 7 tahun saja beliau telah mencapai segala apa yang dicita-citakannya, yakni menguasai ilmu agama untuk selanjutnya diamalkan, diajarkan serta dikembangkan. Guru-gurunya di Makkah diantaran adalah Syaikh Usman Serawak, Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadhrami, Syaikh Muhammad Amin Sayid Ahmad Ridwan, Syaikh Syaikh Hasbulloh Al-Mishro, Syaikh Umar Al-Sumbawi, Syaikh Mukhtar `Atharid, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Mahfudz At-Tarmisi, Syaikh Sa`id Al-Yamani, Syaikh Abdul Karim Ad-Dagestani dan Syaikh Muhammad Umar Syatho. Dari gurunya yang lain, yaitu Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Makkah, Guru Marzuqi memperoleh ijazah untuk menyebarkan Tarekat Al-Alawiyah, Setelah selama 7 tahun beliau mukim di Makkah, kemudian datang sepucuk surat dari Sayyid Utsman yang meminta agar Syaikh Ahmad Marzuqi dapat kembali ke Jakarta, maka pada tahun 1332 H atas pertimbangan dan persetujuan guru-gurunya di Makkah beliau kembali pulang ke Jakarta dengan tugas menggantikan Sayyid Utsman guru beliau dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada murid-muridnya. Tugas yang diamanatkan ini dilaksanakan sebaik-baiknya hingga sampai sayyid Utsman berpulang ke Rohmatulloh. Guru Marzuki juga mempelajari tasawuf, dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat Alawiyyah dari Syaikh Muhammad Umar Syata, yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga mendapatkan ijazah tarekat Khalwatiyah dari Syaikh Usman bin Hasan al-Dimyati. Tarekat Alawiyyah ini merupakan tarekat sufi tertua di Indonesia. Tarekat ini cukup populer di Hadramaut yang merupakan daerah asal para pendakwah yang membawanya ke Asia Tenggara. Di Indonesia, tarekat ini tidak mengenakan pakaian khusus, tidak pula menetapkan syaikh tertentu. Praktik yang dilakukan hanya berupa bacaan rawatib bacaan rutin sehabis salat wajib 5 waktu yang diwarisi secara turun temurun sejak Rasul Saw, dan sahabatnya. Para pemukanya juga tidak menetapkan syarat-syarat atau kaidah tertentu selain mendorong untuk selalu membaca rawatib dan wirid-wirid. Pada tahun 1340 H, ia melihat keadaan di Rawa Bangke Rawa Bunga sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengembangkan agama Islam, karena lingkungannya yang sudah rusak. Ia segera mengambil suatu keputusan untuk berpindah ke kampung Muara. Disinilah ia mengajar dan mengarang kitab-kitab di samping memberikan bimbingan kepda masyarakat. Nama dan pengaruhnya semakin bertambah besar, karena bimbingannya banyak orang-orang kampung memeluk agama Islam dan kembali ke jalan yang diridhoi Allah SWT. Tak hanya itu, para santri dan pelajar banyak berdatangan dari pelosok penjuru untuk menimba ilmu kepada beliau. Sehingga tepat kalau akhirnya kampong tersebut dijuluki “Kampung Muara”, karena disanalah muaranya orang-orang yang menuntut ilmu. Pada pagi hari jum’at jam WIB tanggal 25 Rajab 1352 H, Guru Marzuki wafat. Jenazahnya dikebumikan sesudah sholat Ashar yang dihadiri oleh para ulama dari berbagai lapisan masyarakat, yang jumlahnya amat banyak sehingga belum terjadi saat-saat sebelumnya. Acara sholat jenazahnya diimami oleh Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Habib Ali Kwitang. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama NU memberikan penghargaan kepadanya karena telah ikut mendirikan NU di Batavia/ Jakarta pada tahun 1928 dan ia juga menjadi Rais Syuriahnya hingga wafat. Salah seorang cucunya, KH. Umairah Baqir anak dari KH Muhammad Baqir menikah dengan adik kandung seorang tokoh NU terkenal, KH. Idham Chalid . Adapun kitab-kitab yang dikarangnya ada 13 buah, yang dapat dilihat sekarang hanya 8 buah, berisi tentang fiqih, akhlak, akidah, yaitu Zahrulbasaatin fibayaaniddalaail wal al-`ajmiyah fii ma’rifati tirof minal alfadzilarobiyah. Miftahulfauzilabadi fi’ilmil fiqhil fibayaniakhlaqi bani balaghah al-Betawi asiirudzunuub wa ahqaral isaawi wal `ibaad. Guru Marzuqi dijuluki sebagai “Gurunya Ulama Betawi”, dalam pengertian, dari murid-murid yang didiknya banyak yang menjadi ulama Betawi terkemuka, di dalam satu keterangan ada sekitar empat puluh satu ulama Betawi terkemuka. Di antaranya adalah Mu`allim Thabrani Paseban kakek dari KH. Maulana Kamal Yusuf, KH. Abdullah Syafi`i pendiri perguruan Asy-Syafi`iyyah, KH. Thohir Rohili pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah, KH. Noer Alie Pahlawan Nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi, KH. Achmad Mursyidi pendiri perguruan Al-Falah, KH. Hasbiyallah pendiri perguruan Al-Wathoniyah, KH. Ahmad Zayadi Muhajir pendiri perguruan Az-Ziyadah, Guru Asmat Cakung, Pendiri Yayasan Perguruan Islam Almamur/Yapima, Bekasi, KH. Muchtar Thabrani Pendiri YPI Annuur, Bekasi, KH. Chalid Damat pendiri perguruan Al-Khalidiyah, dan KH. Ali Syibromalisi pendiri perguruan Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta
ZiarahGuru Mulia KH Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod Jakarta Timur - Ziarah Makam Para Wali di Indonesia dan Dunia 16 Nov 2021 Jakarta, NU Online Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi, atau dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang 20 April 1870-13 Oktober 1968 diusulkan PWNU DKI Jakarta menjadi Pahlawan Kemerdekaan. Pengusulan gelar ini datang dari dorongan masyarakat, khususnya masyarakat DKI Jakarta karena kiprah dan perjuangannya yang dinilai cukup besar di masanya, dan bahkan hingga kini perjuangannya masih dirasakan oleh kebanyakan masyarakat. "PWNU mengusulkan ini Bib kepada Al Walid Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi untuk diusulkan ke negara supaya bisa menjadi pahlawan kemerdekaan. Tapi semua itu harus izin keluarga. Kalau memang diperbolehkan, kami akan membuat surat ke Presiden, bahwa allahyarham Habib Ali supaya menjadi salah satu pahlawan kemerdekaan," kata Ketua PWNU DKI Kiai Samsul Ma'arif meminta izin kepada keluarga Habib Ali Kwitang di kediamannya, Jumat 4/9/2021. Habib Ali Kwitang adalah salah seorang tokoh penyiar agama Islam terdepan di Jakarta pada abad 20. Ia juga pendiri dan pimpinan pertama pengajian Majelis Taklim Kwitang yang merupakan satu cikal-bakal organisasi-organisasi keagaaman lainnya di Jakarta. Dalam pandangan PWNU DKI Jakarta, ada beberapa alasan yang memicu PWNU DKI berkeinginan Habib Ali Kwitang disematkan gelar Pahlawan Kemerdekaan. Di antaranya karena Habib Ali Kwitang ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada zamannya. "Habib Ali Kwitang kala itu yang menentukan hari dan waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia," jelasnya. Pada kesempatan tersebut pihak keluarga mengingat kembali Habib Ali Kwitang yang sangat mencintai dan menghormati cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur. "Gus Dur kata Walid Habib Ali Kwitang, seluruh Auliya'illah min Masyariqil Ardhi ilaa Maghoribiha, kenal dengan Gus Dur," kata salah satu pihak keluarga. NU dalam pandangan Habib Ali Kwitang Dikutip NU Online, Kolektor Arsip Habib Ali Kwitang, Anto Jibril mengatakan, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau lebih dikenal Habib Ali Kwitang mendapatkan surat dari ulama-ulama di Jawa ketika Nahdlatul Ulama NU lahir pada 1926. Dia ditanya bagaimana sikapnya tentang NU. Habib Ali kemudian mengundang salah seorang muridnya, KH Ahmad Marzuki bin Mirshod, untuk menyelediki seluk-beluk NU. Habib Ali Kwitang, kata Anto, kemudian mengutus Kiai Marzuki untuk datang ke tempatnya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari untuk mencatat apapun yang dilihatnya di sana. Ketika sampai di sana, Kiai Marzuki kemudian meminta satu hal kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Yaitu agar jilbab yang dipakai perempuan NU dibenarkan. Jika itu dilakukan, Kiai Marzuki yakin NU akan bisa masuk ke tanah Batavia. Dia menuturkan, setahun kemudian Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim datang ke Batavia. Mereka ingin agar NU didirikan di sana. Ketika sampai di Batavia, orang yang pertama kali ditemui Hadratussyekh Hasyim Asy’ari adalah Habib Ali Kwitang. "Setelah itu tahun 1928, NU dibentuk di Batavia. Habib Ali izinkan itu waktu. Lagi-lagi Habib Ali masih pegang fatwanya Habib Utsman bin Yahya. Jadi jangan dimasukkan namanya Habib Ali Kwitang di jajaran pengurus NU," kata Kolektor Arsip Habib Ali Kwitang Anto saat mengisi acara Kajian Manuskrip Ulama Nusantara di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta beberapa waktu lalu. Menurut Anto, semula orang-orang di Batavia kurang tertarik masuk NU karena tidak ada nama Habib Ali di sana. Kemudian Kiai Marzuki 'menegur' Habib Ali karena dulu dirinya lah yang meminta untuk mendirikan NU di Batavia, namun ternyata setelah berdiri Habib Ali malah tidak bersedia gabung. "Sampai pada akhirnya Habib Ali memproklamirkan dirinya jadi warga Nahdliyin. Ini jarang yang ungkapkan, padahal ini dipublikasikan di Koran-koran zaman dulu. Salah satu korannya berbahasa Belanda, koran Het Nieuws van den Dag terbit tanggal 20 Maret 1933," jelasnya. Anto menuturkan, Habib Ali Kwitang mendeklarasikan dirinya menjadi Nahdliyin pada 1933, atau setahun sebelum wafatnya Kiai Marzuki. Kemudian diadakan Kongres NU di daerah Kramat, Batavia. KH Abdul Wahab Chasbullah yang bertugas memimpin jalannya kongres tersebut. Setelah Habib Ali Kwitang mendeklarasikan diri menjadi Nahdliyin, ada sekitar 800 ulama yang saat itu siap masuk NU. "Dan kurang lebih seribu, disebutkan di koran itu, siap masuk pula menjadi warga Nahdlatul Ulama. Pertama Habib Salim bin Jindan," jelasnya. Di koran Belanda itu, lanjut Anto, pada saat itu Habib Salim bin Jindan mengkritik NU. Namun kemudian, Habib Ali Kwitang menenangkannya. Kemudian Habib Ali Kwitang mendeklarasikan dirinya sebagai Nahdliyin. Setelah mendengar pengakuan Habib Ali Kwitang’, peserta yang hadir berdiri dan bertepuk tangan bersama. KH Abdullah Wahab Chasbullah juga senang dengan sikap yang ditunjukkan Habib Ali Kwitang tersebut. Kontributor Abdullah Faqihudin Ulwan Editor Kendi Setiawan HABIBALI KWITANG DEKLARASIKAN DIRI JADI NAHDLIYIN, RATUSAN ULAMA MASUK NU Salah satu ulama termasyhur di Jakarta yakni Habib Ali Kwitang. Ia merupakan PROFIL GURU MARZUKI BIN MIRSHODBEKASI, bksOL - Bermula mencari tahu tentang siapakah bacaleg Golkar untuk Provinsi Jabar dapil Kota Bekasi dan Kota Depok, H. Zainul Miftah. Lalu berlanjut dirinya menceritakan tentang keluarganya dan juga kakeknya, yang jadi idola serta guru spiritualnya, Guru H. Marzuki bin Zainul Miftah, cucu Guru Marzuki bin Mirshod, pendiri NU untuk orang masalah pemberian nama dirinya, sang bacaleg Golkar untuk Provinsi Jabar dan juga kandidat cawalkot Bekasi di pemilu 2024 ini mengatakan bahwa namanya adalah pemberian dari neneknya yang juga istri Marzuki bin Mirshod."Nama saya Zainul Miftah dikasih Nenek Guru Besar Perempuan Almarhumah Hj Hasanah Istri dari Kakek Almarhum KH. Ahmad Marzuki bin Mirshod," ceramahnya sebagai mubaligh menurun dari sang kakek pendiri NU di Kota Jakarta bagi orang Betawi, KH. Marzuki bin Mirshod Foto PrivCollMengetahui hal tersebut maka bksOL tertarik untuk menelusuri silsilah kakeknya tersebut dan ternyata inilah yang Guru KH. Marzuki?KELAHIRANAs-syekh Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Sa’ad bin Abdurrohman bin Sulthon atau yang kerap disapa akrab dengan Guru Marzuki bin Mirshod lahir pada malam Ahad waktu Isya tanggal 16 Romadhon 1293 H di Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Batavia Jakarta Timur.Bahkan kepiawaiannya berjamaah dalam organisasi menurun dari kakeknya, KH. Marzuki bin Mirshod, ulama Betawi pertama yang mendirikan NU di usia 9 tahun ayahanda berpulang ke Rohmatulloh dan diasuh oleh ibunda tercinta yang sholehah dan taqwa dalam suatu kehidupan rumah tangga yang sangat beliau dimakamkan setelah Salat Ashar yang dihadiri oleh para ulama dan ribuan Marzuki kecil, ia memulai pendidikannya dengan belajar di bawah KH. Anwar. Ia mempelajari Alquran dan berbagai disiplin ilmu agama Islam berusia 16 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya untuk belajar di bawah bimbingan Habib Utsman bin Muhammad berguru kepada Habib Utsman, sang Habib melihat kegeniusannya serta ingatan yang tajam dalam menghafal, yang dimiliki oleh Guru Marzuki bin Mirshod, sehingga membuat sang Habib ingin mengarahkan Guru Marzuki untuk melanjutkan pendidikanya di Mekkah dan dapat belajar kepada para ulama besar di H. Zainul Miftah hingga dekat dengan Akbar Tanjung memang bakat menurun dari sang kakek Marzuki bin Mirshod yang punya jaringan luas hingga NU Jawa TimurSetelah 7 tahun beliau belajar di Mekkah, kemudian datang sepucuk surat dari Habib Utsman yang meminta agar Guru Marzuki bin Mirshod dapat kembali ke Jakarta, maka pada tahun 1332 H atas pertimbangan dan persetujuan guru-gurunya di Mekkah beliau kembali pulang ke Jakarta, dengan tugas menggantikan Habib Utsman dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada Guru Marzuki bin Mirshod diantaranya adalah As-Syaikh Usman SarawakAs-Syaikh Muhammad Ali Al-MalikiAs-Syaikh Muhammad Amin Sayid Ahmad RidwanAs-Syaikh Hasbulloh Al-MishroAs-Syaikh Umar SumbawaAs-Syaikh Muhammad Umar SyathoAs-Shaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Makkah Komika bahas penanganan covid19Lihat juga Video Standup Comedy buat Capres paling Ngetop SeJateng & SeJatim MURID DAN PARA SISWAMurid-murid yang dididiknya kemudian banyak yang menjadi ulama Betawi terkemuka. Dalam sebuah catatan menyebutkan ada sekitar 41 ulama Betawi terkemuka bahkan lebih. Di antaranya adalahMu'allim Thabrani Paseban kakek dari KH. Maulana Kamal YusufKH. Abdullah Syafi'i pendiri perguruan Ash-Syafi'iyyahKH. Thohir Rohili pendiri perguruan Ath-ThahiriyyahKH. Noer Alie pahlawan nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, BekasiKH. Achmad Mursyidi pendiri perguruan Al-FalahKH. Hasbiyallah Pendiri perguruan Al-WathoniyahKH. Ahmad Zayadi Muhajir pendiri perguruan Az-ZiyadahGuru Asmat CakungKH. Mahmud pendiri Yayasan Perguruan Islam Almamur/Yapima, BekasiKH. Muchtar Thabrani pendiri YPI Annuur, BekasiKH. Chalid Damat pendiri perguruan Al-KhalidiyahKH. Ali Syibromalisi pendiri perguruan Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan, Jakarta.PENDIRI NAHDLATUL ULAMA NU DI BETAWIBerdirinya organisasi Islam Nahdlatul Ulama NU di tanah Betawi memiliki kisah yang unik. Kisah tersebut diceritakan dari KH. Saifuddin Amsir bahwa ketika Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara diminta untuk mendirikan NU di Jakarta di tanah Betawi, beliau tidak langsung menerima permintaan tersebut, akan tetapi ada satu syarat yang harus Marzuki bin Mirshod memberikan syarat, jika para santri perempuan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, yang dipimpin Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari tidak menutup auratnya secara benar, sesuai syariat, ia menolak pendirian dan kehadiran NU di tanah kemudian mengutus orang kepercayaannya ke Tebuireng untuk melihatnya secara hasil pengamatan orang kepercayaannya ini ia mendapatkan informasi bahwa para perempuan dan santri perempuan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, menutup auratnya dengan benar, sesuai informasi ini, Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara menerima pendirian NU di tanah Betawi dan ia menjadi pendiri dari NU jabatan NU kepada Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara di tanah Betawi langsung dari Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari .Permintaan kepadanya tentu tidak sembarangan, mengingat juga pengaruh dan kemasyhurannya sebagai salah satu ulama terkemuka di Betawi saat kitab-kitab yang dikarangnya ada 13 buah, yang dapat dilihat sekarang hanya 8 buah. Kitab-kitab tersebut diantaranya Zahrulbasatin fibayaniddalail wal al-'ajmiyah fii ma'rifati tirof minal alfadzil' fi'ilmil fiqhil fibayaniakhlaqi bani balaghah al-Betawi asiirudzunuub wa ahqaral Isaawi wal ' Silsilah SanadBerikut ini chart silsilah sanad murid Marzuki bin Mirshod dapat dilihat DI SINI.[]Narasumber Budi, NuOnline, Editor SidikRizalRais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand Prof Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir memaparkan konsep Islam ala Ahlussunnah wal Ja